Image by FlamingText.com

Image by FlamingText.com

Rabu, 15 Desember 2010

PAHLAWAN BETAWI

PAHLAWAN

Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, yang diundang untuk memberikan sambutan mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberi perhatian kepada tokoh Betawi masa lalu yang memang layak untuk diperjuangkan sebagai pahlawan nasional. Namun banyak di antara mereka yang sebenarnya pantas untuk diperjuangkan mendapat gelar tersebut, tetapi karena terkendala oleh minimnya informasi tentang profil dan kiprahnya yang lebih luas dan terdokumentasikan secara utuh menjadi sulit untuk diperjuangkan.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, pahlawan diartikan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Sedangkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia, menurut Kamus Wikipedia Indonesia, diberikan oleh Pemerintah Republika Indonesia kepada mereka yang berjasa kepada Negara Republik Indonesia dan mereka yang berjuang dalam proses untuk kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Untuk memenuhi kriteria menjadi Pahlawan Nasional Indonesia ini, masyarakat Betawi patut berbangga. Sebab, jika ditelusuri lebih mendalam, ternyata mempunyai stok SDM dari masa lalu dan masa kini cukup banyak dan yang layak untuk dijadikan pahlawan di tingkat nasional. Yang secara resmi telah mendapatkan gelar ini dari pemerintah sampai hari ini ada empat orang, yaitu: Ismail Marzuki, Mohammad Husni Thamrin, Prof. dr. Sp.F. Marsekal Muda Anumerta Abdulrachman Saleh, dan KH. Noer Alie. Sedangkan yang patut diperhatikan untuk diberikan gelar tersebut masih banyak lagi. Sebut saja, H.Entong Gendut, Guru Manshur Jembatan Lima dan KH. Mursyidi.
Kisah kepahlawanan H. Entong Gendut di masyarakat Betawi, khususnya di kawasan Condet, seperti yang dikisahkan oleh Alwi Shahab, begitu melegenda. Ia adalah sosok petani sekaligus pendekar. Ia memimpin masyarakat Betawi di Condet untuk memberontak dan melakukan perlawanan kepada VOC. Hal ini dilakukannya karena tidak terima dengan kebijakan dan perbuatan VOC yang meminta penduduk untuk membayar upeti hasil bumi dan tanah garapan para petani Condet. Perlawanannya tidak hanya terjadi di daerah Condet, tetapi meluas sampai ke daerah Kramat Jati, Cililitan, Kalibata dan Pasar Minggu. Begitu sengitnya perlawanan yang dilakukan oleh H. Entong Gendut dan para pengikutnya, membuat VOC kewalahan dan akhirnya menambah pasukannya yang didatangkan dari Bekasi berupa satu detasemen kavelery. Pada satu pertempuran di Balekambang, H. Entong Gendut pun gugur setelah mendapat brondongan peluru. Jasadnya kemudian dibungkus dan dibawa ke Rumah Sakit Belanda di Kramat Djati (kini menjadi RS Polri)
untuk disemayamkan.
Sedangkan Guru Manshur Jembatan Lima dikenal dengan kisah pengibaran bendera merah putih di menara Masjid Al-Manshur Jembatan Lima. Ketika Jakarta diduduki NICA 1946, Ia memerintahkan kepada muridnya agar di menara Masjid Al-Manshur dikibarkan bendera merah putih. Setelah bendera berkibar, tentara NICA yang melihatnya memerintahkan kepada Guru Manshur agar bendera tersebut diturunkan, namun Guru Manshur menolaknya. Meskipun setelah itu Tentara NICA menembaki menara mesjid, Guru Manshur tetap bertahan dengan pendiriannya. Belanda bertukar siasat. Belanda menyerahkan hadiah berupa uang kertas satu kaleng biskuit. Guru Manshur langsung menolak sambil berkata, “Gue kagak mau disuruh ngelonin kebatilan”.
Adapun KH Mursyidi, ulama Betawi asal Klender, dikenal perjuangannya ketika pada tahun 1945 aktif di Menteng 31, markas Angkatan Pemuda Indonesia (API) dan mendirikan Barisan Rakyat (ABRA) di Kampung Bulak, Klender. Dari tahun 1945 sampai tahun 1949, ia terlibat aktif dalam perang mengusir agresi Belanda dan sekutunya. Saat itu, ia menjadi komandan perjuangan rakyat yang mempunyai kewenangan untuk membentuk pemerintahan di tingkat kecamatan atau kewedanan. Kepahlawanannya dikenal bersama dengan dua rekannya, H. Darip dan KH. Hasbiyallah, sebagai tiga serangkai dari Klender.
Tiga contoh di atas adalah tokoh-tokoh Betawi di masa lalu yang melakukan perlawanan fisik menghadapi penjajah dan layak untuk diperjuangan pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk menjadi pahlawan nasional. Mereka telah berjasa di masanya dan dirasakan kiprah dan peranananya oleh masyarakat, juga di masanya. Dan pemerintah setiap tahun, setiap tanggal 10 Nopember, memberikan gelar pahlawan, dan sepertinya tokoh-tokoh yang disebut di atas tinggal menunggu waktu saja untuk mendapatkannya. Namun, masyarakat Betawi dan masyarakat Jakarta kini lebih membutuhkan pahlawan-pahlawan baru yang dapat membantu mereka untuk lepas dari persoalan hidup, yang dapat mengentaskan mereka dari kemiskinan dan tipisnya iman. Untuk pahlawan jenis ini, sepertinya Jakarta belum punya. ***

Tidak ada komentar: