Image by FlamingText.com

Image by FlamingText.com

Rabu, 15 Desember 2010

MADURA DI BETAWI

MADURA DI BETAWI
Ahad, 30 Mei 2010, Cengkareng rusuh. Kerusuhan yang terjadi ini melibatkan dua kelompok etnis, yaitu Betawi dan Madura. Dua etnis yang terkenal sangat religius dan fanatik dengan ajaran Islamnya ini memang kerap menghiasi berita media massa cetak dan elektronik dengan aktivitas saling bentroknya. Seakan-akan tidak ada satu pengikat di antara mereka untuk tetap menjaga keharmonisan dan saling sayang-menyayangi. Bukan rahasia lagi jika sebagian orang Betawi menganggap etnis Madura sebagai pendatang atau tamu yang tidak mengenal sopan santun dan sering membuat persoalan.
Padahal, sejarah membuktikan bahwa etnis Madura merupakan salah satu etnis yang turut membidani lahirnya etnis Betawi. Dengan kata lain, darah sebagian orang Betawi adalah darah orang Madura. Jadi, etnis Betawi dan etnis Madura sebenarnya bersaudara secara ideologis maupun genealogis. Sebagai contoh, ulama terkenal Betawi yang dijuluki “Guru Ulama Betaawi”. Yaitu Guru Marzuki, Cipinang Muara merupakan keturunan Madura dari garis ibu. Nama lengkap Guru Marzuki adalah As-syekh Ahmad Marzuki bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Khotib Sa’ad bin Abdurrohman bin Sulthon yang diberikan gelar dengan “Laksmana Malayang” dari salah seorang sultan tanah melayu yang berasal dari negeri Pattani, Thailand Selatan. Ibunya bernama Hajjah Fathimah binti Al-Haj Syihabuddin Maghrobi Al-Madura, berasal dari Madura dari keturunan Ishaq yang makamnya di kota Gresik Jawa Timur.
Namun dari rekam jejak kasus-kasus bentrok yang melibatkan dua etnis ini, khususnya di Jakarta, fakta selalu menunjukan bahwa orang Madura ah kerap menjadi pemicu, inisiator bentrok dan keributan. Walaupun pemicu ini harus tetap disebut sebagai oknum karena tidak dapat digeneralisasi ke seluruh orang Madura. Lalu mengapa orang Madura selalu menjadi tertuduh sebagai biang pembuat kerusuhan?
Menurut hasil penelitian Saiful `Ala, intelektual muda Madura yang bermukim di Jakarta, pandangan atau tudingan bahwa orang Madura kerap menjadi pemicu bentrok tidak dapat disalahkan. Ia membagi orang Madura ke dalam dua kelompok berdasarkan tingkat religiusitas dengan istilah yang merujuk ke Clifford Geertz, yaitu kelompok santri dan kelompok abangan. Menurutnya, orang-orang Madura pertama yang merantau ke beberapa tempat di Nusantara, khususnya ke tanah Betawi, berasal dari kalangan santri. Mereka, walaupun rata-rata berprofesi sebagai pedagang, namun memiliki ilmu agama yang cukup atau mumpuni sehingga sebagian besar mereka dikenal sebagai juru dakwah yang handal ulama terkenal. Mereka adalah pribadi-pribadi yang santun dan toleran sehingga dengan mudah dapat diterima oleh penduduk asli. Kelompok ini masih mendominasi sampai kira-kera era 80-an akhir. KH. Syukron Makmun, pimpinan Pondok Pesantren Darrurahman, Jakarta Selatan dan almarhum KH. Hasan Bisri, Jakarta Utara merupakan contoh terbaik dari kelompok santri ini. Mereka berdua adalah ulama terkenal yang mumpuni. Tidak sedikit santri-santrinya yang berasal dari Betawi dan menjadi ustadz, ustadzah, dan ulama Betawi terkenal, seperti KH. Zuhri Yakub, sekretaris umum FUHAB (Forum Ulama dan Habaib Betawi) yang pernah merasakan didikan dari KH. Syukron Makmun.
Dominasi kelompok santri ini di Jakarta kemudian redup ketika kelompok abangan secara bergelombang datang. Mereka, masih menurut Saiful `Ala, rata-rata tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah dan bukan berasal dari kalangan santri. Mereka datang ke Jakarta karena tertarik dengan kesuksesan hidup dari saudara, kerabat atau tetangganya yang mereka lihat setiap lebaran, setiap datang ke kampung halaman. Mereka datang tanpa modal yang cukup bahkan nyaris tanpa modal atau modal nekat saja. Bukan hanya itu, mereka membawa watak kekerasan dalam interaksi sosialnya. Kelompok inilah yang menurut Saiful `Ala yang menjadi pemicu bentrok atau konflik antar etnis, bukan hanya di Jakarta, tapi di tempat-tempat lain di Indonesia, seperti peristiwa yang terjadi di Sambas, Kalimantan Barat pada tahun 1999 yang silam. Hal ini tentu saja sangat merugikan etnis Madura secara keseluruhan. Berbagai upaya pun telah dilakukan oleh tokoh dan ulama asal Madura agar hal ini tidak terulang. Namun, berkali-kali terjadi kembali. Sepertinya, memang harus ada solusi yang komprehensif dengan melibatkan seluruh komponen anak bangsa karena etnis Madura adalah bagian dari bangsa ini, bahkan sangat berperan besar dalam sejarah penyebaran dan perkembangan Islam di Nusantara, khususnya di tanah Betawi.
Karenanya, dalam rangka HUT Kota Jakarta ke-483 ini, Jakarta Islamic Centre menggelar kegiatan Pekan Islam Jakarta di mana salah satu kegiatannya adalah seminar dengan tema Menakar Peran Etnis Nusantara dalam Pembentukan Etnis Betawi dan Menjaga Keharmonisan Masyarakat Jakarta yang Multi Kultural pada hari Rabu, 23 Juni 2010. Salah satu sesinya akan membahas tentang Etnis Madura di Betawi yang bertujuan untuk menghasilkan saling kesepahaman dan mengharmoniskan kembali hubungan kedua etnis ini yang akhir-akhir ini nyaris hilang. * * *

Tidak ada komentar: