Image by FlamingText.com

Image by FlamingText.com

Rabu, 15 Desember 2010

betawi malaysia

Betawian Malay Kalau tuan tamasya ke tanah Jawa, Jangan lupa mampir dulu di Jakarta, Jakarta kota ramai yang istimewa, Terkenal sejak dulu kala. Tahukah Anda siapa yang mengarang syair di atas? Menurut Ridwan Saidi yang mengarangnya adalah seorang pangeran Johor, Malaysia pada tahun 1930-an. Syair tersebut merupakan lirik lagu yang berjudul Jakarta Gembira. Pangeran Johor ketika membuat syair lagu ini tentu tidak sedang berkhayal atau bermimpi. Faktanya kala itu, Kota Jakarta memang begitu ramai, istimewa, dan terkenal. Banyaknya gedung-gedung indah berarsitektur Eropa dengan sungai-sungai yang mengelilinginya, adanya tempat belanja terkenal seantero negeri seperti Passer Baroe dan pelabuhan yang ramai disinggahi kapal-kapal dagang dari berbagai bangsa, tentu menjadi tempat favorit khususnya bagi saudagar, hartawan, dan bangsawan Melayu untuk singgah dengan berbagai tujuan, terutama berwisata dan menghabiskan uangnya dengan berbelanja dan bersenang-senang. Ketika itu belum ada Bali atau Singapura yang sekarang menjadi surga wisata dan belanja orang asia dan orang-orang dari belahan dunia lainnya. Begitu pula dengan Kuala Lumpur (KL). Masih diliputi hutan belukar dan tempat orang-orang China keturunan mengais rezeki di tambang-tambang timah. Tidak seperti sekarang, KL menjadi ibukota negara Malaysia dengan menara kembar Petronasnya sebagai landmark yang menarik ratus ribu turis dari penjuru dunia saban tahunnya. Selain belanja dan berwisata, kedatangan turis Melayu ini ke Jakarta juga untuk bersilaturahim dengan kerabat dekat atau kerabat jauhnya yang sudah tinggal turun temurun sejak puluhan bahkan ratusan tahun sebelumnya di Jakarta. Bukan hanya tinggal dan bermukim, tetapi turut berjasa dalam pembentukan etnis Betawi dan juga kebudayaannya. Begitu kentalnya kesamaan, begitu erat dan mendarah dagingnya hubungan orang Betawi dengan orang Melayu, bisa jadi mayoritas DNA orang Betawi sama persis dengan DNA orang Melayu. Maka sangat wajar jika orang Betawi disebut juga sebagai orang Melayu Betawi ( Betawian Malay). Ada beberapa bukti yang menunjukkan hal itu: Pertama, dalam hal bahasa. Etnis Betawi dalam bertutur kata menggunakan bahasa Melayu yang sudah mengalami perubahan karena pengaruh dari bahasa Jawa, Sunda, Cina, Portugis, Belanda, Bali dan lain-lain yang diistilahkan dengan dengan omong Betawi. Perbedaan yang utama adalah pada pengucapan e pada akhir sebuah kata. Jika orang Betawi mengucapkannya dengan e keras, maka orang Melayu mengucapkannya dengan e lunak. Namun menurut Habib Sechan Shahab, pada masa mudanya dulu, dia masih mendapatkan orang-orang Betawi di Kebon Pala bertutur kata dengan menggunakan bahasa Melayu (dengan akhiran e lunak); Kedua, dalam hal arsitektur rumah. Menurut Ridwan Saidi, pada mulanya rumah orang Melayu Betawi adalah rumah panggung yang bercirikan arsitektur Melayu, di mana pada atapnya terdapat lembayung. Ciri ini masih tampak pada rumah di Desa Cikedokan, Bekasi yang diduga didirikan oleh Pangeran Sake pada akhir abad ke-17. Posisi bala suji (tangga rumah) rumah Melayu Betawi berada di tengah (centris), berbeda halnya dengan Melayu Palembang yang menempatkan bala suji di tepi rumah. Rumah-rumah ini berdiri di tepi sungai, karena pada mulanya sumber kehidupan terdapat di tepi sungai. Ketika sebaran penduduk merasuk ke pedalaman, pola rumah tepi sungai masih dipertahankan, yaitu berbentuk panggung dan sumur, serta kulem (kamar mandi) berada di depan rumah. Pola rumah berarsitektur seperti ini masih terdapat di wilayah budaya Melayu Betawi seperti Cimanggis, Tigaraksa, Jatiwangi (Cibitung), Rawa Kalong, Cibinong. Bentuk rumah panggung itu untuk mengantisipasi banjir, dan lebih dari sekadar mengantisipasi hewan buas. Rumah kebaya, rumah yang menjejak ke bumi, selanjutnya lebih disukai karena proses pembuatannya yang lebih sederhana, namun lantai dibuat lebih tinggi dari permukaan tanah, sehingga bala suji sebagai unsure pendukung tetap dipertahankan. Pada daerah gunung seperti Gunung Puteri yang masyarakatnya menggunakan bilingual Melayu Betawi dan Sunda, pola rumah panggung digunakan untuk bangunan suci. Penggunaan pola panggung di sini lebih bersifat sakral dari pada fungsional. Bangunan suci, baik pada tradisi pra Islam maupun Islam, cenderung berbentuk panggung mengikuti pola Bale Kambang, tempat peristirahatan raja dan keluarganya.; dan Ketiga, Begitu pula dalam masalah agama. Menurut Yasmine Zaki Shahab, orang Betawi adalah muslim, jika ada orang Betawi tidak muslim maka dia bukan lagi disebut orang Betawi. Hal ini sama dengan orang Melayu, semua orang Melayu dipandang Muslim seperti yang tercantum pada Pasal 160 Konstitusi Malaysia. Bahkan dalam masalah mazhab fiqih juga tidak ada bedanya, sama-sama bermazhab Syafi`i (Syafi`iyyah). Begitu pula dalam tradisi Islamnya. Kesamaan mazhab dan tradisi ini bahkan membuat orang Melayu sangat welcome dengan ulama Betawi dan karya intelektualnya. Misalnya saja, sebagaimana yang dikatakan oleh Djabir Chaidir Fadhil atau akrab disapa Bang Djabir, kyai dan budayawan Betawi yang sering keluar masuk ke pelosok-pelosok negeri Malaysia untuk berdakwah, di negara bagian Terengganu, Malaysia, kitab Sullam An-Nayrain, kitab falak karangan Guru Manshur Jembatan Lima, sampai hari ini masih dipelajari di berbagai majelis taklim dan digunakan sebagai rujukan untuk melihat posisi hilal. Jasa besar orang Melayu terhadap kebudayaan Betawi, pertautan darah keduanya, dan keharmonisan hubungan yang tercipta di masa lalu, tentu dengan fakta yang ada sekarang membuat kita mengelus dada. Kebanyakan kita sekarang ini, terutama orang Betawi dan Jakarta, hampir memandang orang Melayu (Malaysia) tidak ubahnya seperti melihat orang bule. Terasa asing. Bahkan muncul kebencian jika melihat kasus yang akhir-akhir ini terjadi, seperti kasus Manohara, penyiksaan TKI, dan sengketa Ambalat. Banyak upaya bisa dilakukan untuk mengharmoniskan kembali hubungan antara dua bangsa serumpun ini, salah satunya memanfaatkan perayaan HUT Jakarta melalui even Jakarta Fair-nya. Pihak-pihak terkait, yaitu pemprov. DKI Jakarta melalu Dinas Pariwisata dan penyelenggara Jakarta Fair dapat menjadikan Jakarta Fair sebagai ajang reuni akbar, bernostalgia dan bersilaturahim orang-orang Melayu di negeri jiran sana dengan saudara-saudaranya yang serumpun atau sedarah di Indonesia. Agar Jakarta seperti akhir syair lagu di atas, kembali terkenal sejak dulu kala. * * *

Tidak ada komentar: